masukkan script iklan disini
Karawang | VERSITNEWS,COM Selasa 12/8/25 Warga Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, mengungkapkan kegelisahan mereka terhadap dugaan penyimpangan dalam penyaluran bantuan sosial (bansos). Program-program seperti PKH, BLT Dana Desa (ADD Desa), (BUMDES) Tanah Bengkok hingga bantuan beras.
Pengambilan beras pun diduga tidak tepat sasaran, tidak transparan, bahkan syarat nya pun harus di tebus.
Keluhan mencuat dari berbagai kalangan, terutama para lansia dan keluarga miskin yang merasa hak mereka dirampas secara sistematis. Berikut rangkuman fakta-fakta di lapangan yang dihimpun dari pengakuan warga dan para tokoh masyarakat
1. Data Penerima Amburadul: Nama Ada, Bantuan Tak Pernah Sampai
Banyak warga mengaku pernah menerima bantuan, namun kemudian “hilang” dari daftar tanpa penjelasan. Beberapa hanya menerima satu kali dalam setahun, atau malah hanya di awal dan akhir saja. Bahkan, sejumlah lansia yang secara resmi terdata sebagai penerima, nyatanya tidak pernah menerima bantuan sepeser pun.
“Awalnya saya dapat, tengah tahun hilang, akhir tahun muncul lagi. Nenek saya yang terdata pun enggak pernah dapat sama sekali,” ujar seorang warga inisial DN, Jumat (8/8/2025).
2. Bantuan Dana Desa: Dari Rp900 Ribu Jadi Rp300 Ribu?
Program ADD Desa yang seharusnya mengucurkan Rp900.000 per triwulan per penerima, diduga “disunat” secara sepihak. Banyak warga hanya menerima Rp300.000 atau Rp600.000. Ironisnya, penerima penuh justru disebut-sebut berasal dari kalangan keluarga aparat desa sendiri.
“Kami jompo cuma dapat Rp300.000. Katanya bantuannya Rp900.000. Sisanya ke mana?” keluh seorang penerima lanjut usia.
3. PKH Tak Konsisten: Warga Harus ‘Menagih’ ke Rumah Kepala Desa
Program Keluarga Harapan (PKH) pun tidak luput dari masalah. Sejumlah warga mengaku hanya menerima bantuan setelah mengecek data sendiri dan berani datang langsung ke rumah kepala desa.
“Yang enggak datang, enggak dikasih. Yang berani protes, baru dikasih. Ini bantuan atau hadiah diam-diam?” sindir seorang ibu rumah tangga.
4. Bantuan Beras Dipungut Rp30.000: Warga Miskin Dipaksa Bayar atau Dicicil
Bantuan beras yang semestinya gratis malah jadi beban. Warga mengaku diminta membayar Rp20.000 hingga Rp30.000 untuk dua karung beras, meski harus mengambil sendiri. Bahkan, yang hanya mampu bayar separuh tetap ditagih sisa pembayarannya.
“Bayar Rp10.000 dulu, besok ditagih lagi Rp20.000. Jadi kayak beli beras pakai utang,” kata seorang warga.
Warga tidak mempermasalahkan adanya iuran jika penggunaannya jelas, seperti untuk biaya distribusi atau konsumsi bersama. Namun, hingga kini tidak ada transparansi mengenai aliran dana tersebut.
5. Pendaratan KIS bagi warga yang tidak mampu harus mengeluarkan uang sebesar Rp600 RB, jika tidak punya uang tidak di urus, padahal pendaftaran KIS/UHC itu gratis,karna itu adalah Program dari Pemerintah.
"Kami warga tidak mampu,buat makan sehari-hari pun kami susah, di saat keluarga kami ada yang sakit kami di minta uang untuk mengurus UHC sebesar Rp 600 RB, KL kami tidak punya uang kami di abaikan oleh PSM dan Aparatur Pemerintah Desa,"ungkap salah satu warga.
Warga Takut, Lebih Pilih Diam
Ketakutan kehilangan akses bantuan membuat sebagian warga memilih untuk diam dan menurut. Banyak yang khawatir jika mengeluh, nama mereka akan dihapus dari daftar penerima.
“Kalau ngomong, takutnya malah enggak dikasih lagi. Jadi ya, terpaksa bayar aja meski berat,” ungkap seorang ibu.
Seruan untuk Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum
Dugaan penyimpangan dalam penyaluran bansos di Desa Sungaibuntu ini bukan sekadar isu teknis—melainkan indikasi dari sistem yang lemah, rawan manipulasi, dan minim pengawasan. Jika tak segera ditindaklanjuti, kepercayaan publik terhadap program bantuan pemerintah bisa runtuh.
Transparansi, integritas aparat desa, dan kontrol dari pemerintah daerah maupun penegak hukum menjadi kunci. Masyarakat miskin seharusnya dilayani, bukan dipalak dalam sunyi.
"Sampai saat ini PemerintahKabupaten Karawang masih bungkam, belum ada tindakan dari pemerintah Kabupaten Karawang.
Kami berharap pihak Dinas Sosial, KPK , BPK, Bupati Karawang, Gubernur Jawa Barat, Pengadilan Tipikor – Pengadilan Tindak Pidana Koropsi, dan Bapak Presiden bisa menindak lanjut aparat yang sudah membuat masyarakat menderita.
Kami meminta keadilan kepada pemerintah untuk bisa mengusut persoalan ini sampai ke akar-akarnya.