Saat pengecekan lapangan, ditemukan aktivitas pengurugan tanah merah yang langsung ditimbun di atas rumput hidup tanpa pengupasan (stripping), pembersihan lahan (kosrekan), atau pemeriksaan kondisi dasar. Temuan ini dianggap janggal dan berpotensi merusak kualitas proyek sejak awal.
Akhmad Muslim dan Ade Balok, dua aktivis lokal pemerhati proyek, mengecam keras metode kerja tersebut.
“Rumput itu harusnya di kat dulu. Ada istilah stripping, ada kosrekan, ada pemeriksaan lapangan. Tapi kemarin tidak dilakukan oleh pihak pelaksana. Ini sudah tidak sesuai spek,” tegas Akhmad Muslim kepada awak media Versitnews, Jum'at (3/10/2025).
Tak hanya itu, mereka juga menemukan tidak adanya proses pemadatan setelah pengurugan. Tanah merah yang ditimbun sembarangan dikhawatirkan menimbulkan gelombang atau ambles saat pekerjaan dilanjutkan.
“Kalau pengurugan dilakukan tanpa padatkan dan tanpa bersihkan rumput, berarti di bawahnya itu LPB-nya rumput. Ini sudah salah secara teknis,” ujar Ade Balok.
“Ini proyek negara, anggarannya Rp640 juta dari pajak rakyat. Pengawasnya seharusnya standby dan menegur pemborong kalau ada yang melenceng dari gambar kerja dan spek,” kritik mereka.
Keduanya mendesak Dinas PUPR Karawang turun tangan sebelum kerusakan terjadi dan uang negara terbuang percuma.
“Pemborong boleh untung, tapi jangan abaikan kualitas. Kami minta PT pelaksana segera memperbaiki sesuai aturan kerja. Jangan sampai uang negara habis, hasilnya buruk,” ucap mereka.
Pekerjaan ini masih berjalan dan belum memasuki akhir kontrak yang dijadwalkan berlangsung selama 60 hari kalender, mulai 1 September hingga 30 Oktober 2025. Aktivis memperingatkan agar proyek APBD tak lagi dijalankan asal-asalan dan wajib diawasi ketat sejak awal pengerjaan.
Publik kini menunggu. Apakah Dinas PUPR akan bergerak cepat, atau membiarkan praktik “asal uruk, asal jadi” terus berulang dengan dalih sudah masuk anggaran?